Subsidi hanya untuk Minyak Goreng Curah
Pemerintah memperbarui kebijakan minyak goreng dengan
memperhatikan aspirasi produsen. Subsidi hanya untuk minyak curah, yang kemasan
harganya disesuaikan dengan keekonomiannya.
Sepanjang enam pekan pemerintah berupaya
menggelontorkan minyak goreng dalam jumlah besar dengan harga terjangkau ke
pasar melalui skema subsidi. Namun jangankan tersedia dengan harga murah,
justru minyak goreng (migor) menghilang dari pasar. Di warung-warung, mini market,
dan supermarket sesekali migor muncul, namun dalam waktu sekejap ludes diserbu
pembeli.
Yang lebih sering tersedia di warung-warung
adalah minyak nonsubsidi, yang disebut sebagai stok lama. Harganya di Jakarta
sekitar Rp20 ribu per liter dengan kemasan sederhana, dan Rp22 ribu per liter
dengan kemasan botol. Harga subsidi yang ditetapkan Menteri Perdagangan
(Mendag) M Lutfi per 1 Februari 2022, yakni Rp14.000 untuk kemasan premium,
Rp13.500 untuk kemasan yang sederhana, dan Rp11.500 untuk migor curah, tidak
berjalan mulus di lapangan
Maka, pemerintah pun mengubah kebijakannya. Rapat
kabinet terbatas (ratas), di Istana Presiden yang digelar pada Selasa
(15/3/2022) sore, memutuskan mengubah kebijakan subsidi dengan satu harga itu.
Minyak goreng bersubsidi akan disediakan untuk masyarakat dalam bentuk minyak
curah dengan harga Rp14.000 per liter. Ada pun harga migor kemasan akan berlaku
fleksibel disesuaikan dengan nilai keekonomiannya.
Keputusan itu disampaikan secara singkat oleh
Menteri Kordinator (Menko) bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dengan
didampingi oleh Menteri Perdagangan M Lutfi, Menteri Perindustrian Agus
Gumiwang Kartasasmita, dan Kapolri Jenderal Listyanto Sigit Prabowo. “Dengan
pertimbangan kondisi yang sifatnya mendesak, pemerintah menetapkan kebijakan
baru,’’ ujar Menko Airlangga, seusai Ratas yang dipimpin oleh Presiden Joko
Widodo itu.
Dalam pengantar yang ringkas itu, Menko Airlangga
mengatakan bahwa subsidi migor ini dananya tak dialokasikan dari APBN melainkan
ditarik dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), lembaga
yang mengelola pungutan khusus (dengan tarif progresif) atas ekspor
minyak sawit mentah (CPO). Selama ini, dana sawit PBKPKS
digunakan untuk mengembangkan industri hilir CPO, seperti dalam produksi
biodiesel.
Perubahan kebijakan itu dilakukan karena
penetapan harga tunggal dengan tiga jenis harga eceran tertinggi
(HET) yang berbasis kemasan itu ternyata sulit dilaksanakan. Ketika melakukan
inspeksi di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Rabu pagi (9/3/2022) Mendag Lutfi
menemukan harga migor melambung di atas HET. Pada konferensi pers, sore
harinya, ia menyatakan keheranan bahwa minyak goreng bisa menghilang dari
pasaran. Padahal, katanya, pemerintah telah memobilisasikan lebih dari 416 ribu
ton untuk digelontorkan ke pasar, jauh melampaui kebutuhan riil di masyarakat
yang diperkirakan sekitar 327 ribu ton pada kurun lima pekan itu.
‘’Kami memperkirakan, bahan baku minyak goreng
rembes ke industri yang tidak berhak atau ada tindakan melawan hukum berupa
ekspor tanpa izin. Kedua hal ini masih harus diselidiki lebih lanjut untuk
memastikan faktanya. Tapi yang kami bisa pastikan saat ini, tak boleh ada
yang berspekulasi menyimpan minyak goreng untuk keuntungan pribadinya,’’
kata Mendag M. Lutfi.
Mendag juga menyebutkan, ia menyimpan data
terverifikasi, terkait informasi tangki penyimpanan, dan jalur distribusi
minyak goreng. ‘’Data tersebut siap kami bagikan ke Polri,” imbuhnya.
Mendag Lutfi mengatakan, terindikasi ada gangguan
dalam distribusi di tengah upaya pemerintah melakukan stabilisasi
penyediaan dan harga minyak goreng di dalam negeri. Terbukti, polisi berhasil
menggerebek sejumlah lokasi penimbunan minyak goreng di Sawangan, Depok, di
Serang, Banten, di Banjarmasin, dan sejumlah tempat lainnya.
Kebijakan subsidi minyak goreng itu diberlakukan
seiring kenaikan harga yang terus menanjak sejak empat bukan terakhir. Pada
awal 2022, harga minyak goreng kemasan sudah melewati angka Rp20.000 per liter.
Kenaikan harga itu terjadi seiring dengan kenaikan harga minyak sawit mentah
(CPO), bahan baku minyak goreng, yang disertai permintaan yang tinggi di pasar
dunia. Lonjakan itu utamanya terjadi sejak awal Desember 2021.
Harga CPO di pasar dunia, yang biasa ditera dalam
Ringgit Malaysia (RM), telah mencapai RM6.900 per ton (sekitar Rp23,46 juta)
pada awal Maret 2022. Secara mingguan ada kenaikan 11 persen dan secara tahunan
(yoy) 69 persen. Dibanding awal 2020, harga CPO naik 225 persen. Di tingkat
petani, harga tandan buah segar (TBS) sawit telah berlipat tiga kali dalam dua
tahun terakhir. Padahal, di bulan November 2021, harga CPO di pasar dunia masih
anteng di bawah RM5.000 per ton.
Tak pelak, harga minyak goreng merangkak
naik. Maka, kebijakan subsidi migor diberlakukan untuk jangka waktu enam bulan.
Dana yang disediakan Rp7,6 triliun, berasal dari BPDKPS, dengan target 1,5
miliar liter dalam enam bulan. Besaran subsidinya itu sekitar Rp5.000 per
liter.
Namun, terlepas dari terjadinya
penyimpangan distribusi di lapangan, banyak pihak mengganggap harga subsidi
itu terlalu rendah. Untuk migor curah yang dipatok Rp11.500 per liter, subsidi
Rp5 ribu per liter, belum cukup untuk mengejar kenaikan harga bahan baku
CPO-nya di pasar domestik yang juga terus menanjak. Situasi ini dialami
pabrikan minyak goreng yang tak punya kebun sawit sendiri. Mereka tak bergairah
ikut mengamankan harga di tingkat konsumen.
Pengalaman Malaysia
Negara jiran Malaysia juga mengalami lonjakan
harga minyak masaknya, bahkan sejak setahun lalu, saat harga di pasar merambat
ke tingkat 8–8.50 Ringgit Malaysia (RM), sekitar Rp27 ribu--29 ribu per kg.
Maka, Pemerintah Malaysia menyalurkan minyak masak subsidi kemasan 1 kg dengan
harga RM2,50 (sekitar Rp8.400) per kg. Migor bersubsidi ini resmi berlaku per 1
April 2021 lalu.
Migor bersubsidi itu didistribusikan melalui
belasan ribu outlet “Malaysia Satu”, yakni jaringan kedai ritel yang sejak lama
dijadikan mitra pemerintah untuk penyaluran sembako. Selain minyak goreng, di
kedai “Malaysia Satu” juga dijual antara lain ayam potong beku, telor,
gula pasir, daging sapi dan daging kerbau beku. Semua produk impor tapi dengan
bea masuk sangat ringan sehingga harganya terjangkau.
Minyak masak nonsubsidi masih diizinkan beredar
di minimarket atau supermarket. Harganya pun dibatasi melalui kebijakan HET,
dan ditetapkan RM29.70 untuk kemasan botol 5 kg, yang kemasan 2 kg harganya
RM12.70; dan RM18.70 pada kemasan 3 kg. Rata-ratanya RM6.15 (Rp20.910) per kg.
Bila dikonversikan ke satuan volume nlainya sekitar Rp16.725 per liter. Toh,
di perdagangan online, harga yang berlaku umumnya di atas HET yang
ditentukan.
Pemerintah Malaysia menyiapkan minyak subsidi ini
sampai luber, karena volumenya sampai 60.000 ribu ton per bulan. Melebihi dari
kebutuhan bulanannya yang 50 ribu ton, untuk 33,7 juta warga dan beberapa juta
tenaga kerja asingnya. Dengan limpahan supply itu tidak ada
antrean orang membeli minyak goreng. Kalangan menengah-atas umumnya tak
memborong minyak subsidi, karena mereka yakin tak ada kelangkaan di pasar.
Kebijakan ini telah berjalan setahun dan kemungkinan masih akan diperpanjang.
Dijaga Polisi
Kebijakan baru penetapan harga migor bersubsidi
di Indonesia itu akan ditetapkan dengan Peraturan Menteri Perdagangan
yang baru. Produsen mendapat kesempatan relaksasi melalui migor kemasan
sesuai brand masing-masing. Namun, harga dan pasokan minyak bersubsidi
yang kini Rp14.000 per liter akan dijaga betul, bahkan dengan melibatkan Polri.
Tak heran bila dalam konferensi pers seusai ratas
kabinet tentang minyak goreng, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pun ikut
hadir. ‘’Polri akan ikut memberikan pengawalan atas distribusi minyak goreng
untuk menjamin ketersediaannya,’’ ujar Kapolri.
Ancaman terjadi kebocoran minyak subsidi keluar
negeri, seperti dikhawatirkan Menteri Perdagangan M Lutfi, bukan tanpa alasan.
Ada disparitas harga yang cukup dalam dengan harga migor di negara tetangga. Di
Manila, misalnya, harga minyak goreng kemasan 1 kg dibanderol 130 Peso atau
sekitar Rp33.000 per kg.
Posting Komentar